Friday, October 20, 2006

INTI PERBAIKAN
:miftahul huda

Setiap kita adalah rimba bagi orang lain. Kecuali diri kita sendiri dan Allah tentunya, tak seorang pun akan mampu untuk mengetahui seluk beluknya,. Rimba yang banyak menyimpan misteri bagi orang lain. Siapa pun dia. Sedekat apa pun dia terhadap kita.
Setiap kita adalah rimba bagi orang lain. Hanya diri kita yang mengetahui ada berapa jenis hewan yang bersemayam dalam belantara kita. Hanya diri kita yang mengetahui ada berapa taman bunga yang sangat menawan yang tersembunyi dalam lebatnya belantara kita. Hanya kita yang tahu pasti ada berapa ekor macan, berapa ular berbisa, berapa anjing yang suka menyalak yang menempati sudut-sudut gelap rimba belantara kita. Berapa ekor kupu-kupu yang senantiasa menghiasi hari-hari kita. Berapa ekor merpati yang senantiasa menghiasi langit di atas belantara kita. Sedang orang lain hanyalah mampu melihat sedikit saja.
Kita ibarat belantara. Seperti hutan yang penuh dengan aneka flora dan fauna. Orang hanya mampu mengetuhui apa yang tampak dan kita nampakkan. Seperti rimba yang dipandangi oleh seseorang dari jarak yang sangat jauh. Orang hanya mampu melihat bahwa kita adalah hutan yang hijau. Orang hanya mampu melihat bahwa kita adalah hutan yang gundul. Orang lain tak akan pernah mampu untuk mengetahui secara detail apa yang sesungguhnya ada di dalam belantara kita.
Karena hanya kitalah yang tahu siapa sesungguhnya siapa diri kita, maka sesungguhnya inti perbaikan itu ada pada diri kita sendiri. Orang lain tak akan pernah tahu seberapa besar bibit kesombongan yang ada pada diri kita. Orang lain tak akan pernah tahu seberapa banyak benih keangkuhan yang telah tersebar dalam jiwa kita. Mereka hanya tahu apa yang tampak dan yang kita nampakkan. Padahal apa yang nampak dan kita nampakkan sering kali adalah semu. Tidak nyata.
Karena itu inti perbaikan itu ada pada diri kita. Kalau toh ada orang lain yang ingin membantu memperbaiki kita dengan nasehat-nasehatnya, sesungguhnya mereka akan berhadapan dengan inti perbaikan dalam diri kita. Jika inti perbaikan dalam diri kita itu tidak berfungsi dengan baik maka segala nasehat itu menjadi sesuatu yang sia-sia. Tak akan pernah sampai pada yang diharapkan.
Inti perbaikan dalam diri kita terdiri dari tiga hal. Pertama adalah kesanggupan untuk senantiasa berdialog dengan nurani kita. Berdialog tentang wujud kita sesungguhnya. Berdialog untuk senantiasa mencari bibit-bibit kesombongan, bibit keangkuhan dan berbagai bibit-bibit penyakit lain yang mungkin bersemayam dalam diri kita. Berdialog dengan nurani kita untuk mencari tahu seberapa besar kadar segala bibit penyakit itu telah tercampur dalam jiwa kita. Yang orang lain tak akan mengetahuinya, kecuali yang tampak dan yang kita nampakkan.
Kedua adalah kejujuran atas nurani kita. Hasil berdialog nurani kita mungkin telah menemukan dan menentukan kadar kesombongan dalam diri kita. Tapi penemuan itu tidak akan bermakna ketika kita gagal untuk jujur mengakui bahwa penemuan itu adalah benar. Sebab hanya dengan kejujuran itu kita menjadi sadar bahwa hal itu memang ada.
Terakhir dari inti perbaikan adalah kesadaran yang timbul dari dalam diri untuk senantiasa melakukan perbaikan. Kesanggupan untuk berdialog dengan nurani dan kejujuran untuk mengakui bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki dalam diri kita akan kehilangan maknanya ketika ternyata dalam jiwa kita tidak ada kesadaran untuk senantiasa melakan perbaikan. Kesadaran untuk senantiasa meningkatkan mutu kehidupan pribadi kita. Kesadaran untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan kita.
Orang yang telah memiliki 3 hal ini, akan senantiasa mencari nasehat. Tidak lagi menunggu dinasehati. Dia tidak akan pernah menunggu sampai ada orang yang memarahinya dengan sebenar-benarnya kemarahan. Apalagi sampai di diamkan, diacuhkan, diabaikan keberadaannya. Bukankah kemarahan hanya layak di berikan pada orang yang bebal dan keras kepala ??!! Wallahu a’lam bishowab.

8 Mei 2003
(Masjid Shalahuddin, Medan Pertempuran Para Pendekar)

Kesanggupan Untuk Memberi
Oleh : Miftahul Huda

Tidak semua orang yang senantiasa bersama perjuangan itu mencintai perjuangan. Tidak semua orang yang menghabiskan sebagian besar atau bahkan seluruh hidupnya di jalan perjuangan itu mencintai perjuangan. Tidak semua orang yang menjadikan perjuangan sebagai jalan hidup itu mencintai perjuangan.

Perjuangan akan senantiasa di kawal orang-orang yang mencintai perjuangan dan orang-orang yang akan memanfaatkan perjuangan. Kita akan sulit membedakan antara keduanya. Sebab, keduanya, dalam keadaan yang normal senantiasa menampakkan fenomena yang sama. Orang yang mencintai perjuangan menghabiskan seluruh hidupnya untuk perjuangan. Begitu pula orang-orang yang memanfaatkan perjuangan.

Jika orang-orang yang mencintai perjuangan, senantiasa memikirkan perjuangan, begitu juga orang-orang yang memanfaatkan perjuangan. Orang-orang yang mencintai perjuangan akan senantiasa bersedih ketika perjuangan tidak sesuai dengan yang diharapkan, begitu juga orang-orang yang memanfaatkan perjuangan.

Perbedaan antara keduanya tipis sekali. Dan sedikit orang yang mampu memahami perbedaan ini. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada kesanggupannya untuk memberi kepada perjuangan.

Jika engkau orang yang jeli, maka engkau akan melihat perbedaan ini. Orang yang mencintai tidak akan pernah secara sengaja mengambil, meski mereka senantiasa memberi. Engkau akan mendapati bahwa orang-orang yang mencintai perjuangan senantiasa memberi pada perjuangan, dan engkau tidak akan pernah mendapati mereka mengambil sesuatu dari perjuangan.

Orang yang mencintai akan memberikan dirinya, memberikan sesuatu yang paling berharga yang dia miliki –kehidupannya. Yang terpenting dalam hal ini bukan soal bahwa dia telah mengorbankan hidupnya demi perjuangan melainkan bahwa dia telah memberikan apa yang hidup dalam dirinya. Dia memberikan kegembiraannya, kepentingannya, pemahamannya, kejenakaannya, kesedihannya –semua ekspresi serta manifestasi yang ada dalam dirinya. Dengan tindakan tersebut, seorang yang mencintai perjuangan telah memperkaya perjuangan, meningkatkan perjuangan dengan peningkatan kualitas dirinya.

Dia tidak memberi untuk mendapatkan imbalan; memberi pada dirinya sudah menimbulkan kegembiraan luar biasa. Dalam tindakan memberi seseorang ibarat meniupkan secercah kehidupan dalam diri orang lain, yang kemudian kehidupan itu memancar kembali kepadanya.

Memberi kepada perjuangan bagi orang-orang yang mencintai perjuangan, lebih menggembirakan ketimbang menerima. Bukan karena hal tersebut merupakan sebentuk kerugian, tetapi karena dalam tindakan memberi terdapat ungkapan akan kehidupan.
Engkau tidak akan mendapati semua itu pada orang-orang yang memanfaatkan perjuangan. Bagi orang-orang yang memanfaatkan perjuangan, memberi adalah sebentuk kerugian. Memberi bagi mereka adalah mengorbankan sesuatu. Bahkan memberi bagi mereka adalah suatu aktivitas pemiskinan.

Jika engkau mendapati mereka memberi, engkau juga akan melihat mereka dengan sengaja juga mengambil. Mereka akan memberikan hartanya untuk perjuangan, sambil mengambil ketenaran. Mereka akan memberikan hidupnya untuk perjuangan, sambil mengambil kekuasaan. Dan lihatlah hasilnya. Engkau akan mendapati jika orang-orang yang memanfaatkan perjuangan itu mendapatkan kekuasaan, maka kekuasaan yang berada ditangannya berubah dingin dan mencekam. Menebar bencana dan melenyapkan cinta.

Dari sini engkau akan memahami, mengapa Abu Bakar dan Utsman senantiasa memberikan seluruh hartanya untuk perjuangan. Bahkan juga hidupnya. Mereka tak pernah mengambil apa pun dari perjuangan. Harta, ketenaran, bahkan kuasa. Kalau toh kemudian semua itu berbalik kembali ke mereka, karena orang-orang yang senantiasa meniupkan secercah kehidupan kepada perjuangan, kehidupan itu akan memancar kembali kepadanya. Dan lihatlah hasilnya. Cinta telah memekarkan perjuangan, kekasih mereka.

Yogyakarta, 28 Mei 2004

INTI KEADILAN
:Miftahul Huda

Dalam banyak hal setiap kita adalah hakim. Yang harus mengambil suatu keputusan terhadap berbagai hal. Bisa jadi kita harus mengambil keputusan atas suatu permasalahan yang terkait dengan diri kita atau permasalahan yang terkait dengan orang lain. Bisa jadi kita harus mengambil suatu keputusan untuk sebuah penyikapan terhadap suatu kondisi yang ada di hadapan kita.
Untuk menjadi seorang hakim yang adil syarat utama yang harus di miliki adalah keluasan ilmu tentang permasalahan yang hendak diputuskan. Orang yang ingin mengadili seorang pencuri tentunya harus menguasai hukum tentang pencurian. Orang yang ingin mengadili seorang penzina tentunya harus menguasai ilmu tentang perzinaan. Sebab dari orang-orang seperti itulah hukum bisa ditegakkan dengan benar.
Syarat kedua agar orang menjadi seorang hakim yang adil adalah memiliki keikhlasan. Segala yang dia lakukan hanyalah untuk mencari ridlo Allah semata. Hanya orang-orang yang memiliki keikhlasanlah yang mampu bertahan dari godaan-godaan duniawi yang sering kali datang menjelang.
Syarat ketiga yang harus di penuhi oleh seorang hakim ketika ia ingin mengambil keputusan yang adil adalah dia harus mengetahui alasan terjadinya suatu peristiwa. Dia harus mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang suatu peristiwa. Kelengkapan pengetahuan itu bisa didapat dari kelengkapan data atau keterangan dari saksi.
Jika kemudian pengambilan keputusan itu terkait dengan “kesalahan” seseorang maka seorang hakim harus mencari tahu apa motivasi dari sang pelaku “kesalahan” tersebut. Sebab bisa jadi seseorang itu melakukan kesalahan tetapi sebenarnya dia tidak sengaja. Atau dia melakukan suatu kesalahan itu karena faktor keterpaksaan.
Dalam konteks inilah, kata “mengapa” menempati peran yang sangat penting. Ia adalah kunci untuk membuka pintu bagi ruang yang selama ini tertutup. Yang kita tidak akan mengetahui apa yang ada di dalamnya kecuali kita mau memasukinya. “Mengapa” adalah penguak tabir yang mungkin selama ini tersembunyi. Yang kita tak mengetahui kecuali kita mau menguaknya.
Dengan “mengapa” inilah kita bertabayyun. Mencari tahu sebab mengapa saudara kita, orang-orang di sekitara kita (dalam pandangan kita) melakukan “kesalahan-kesalahan” . Dengan kata “mengapa” inilah kita mencoba untuk mengenali secara utuh “kesalahan” saudara kita, orang-orang disekitar kita. Setelah mendapat jawaban atas kata “mengapa” inilah kita baru layak untuk menentukan sikap. Membuat keputusan.
Tetapi kalau kita mau berfikir lebih jauh, kata “mengapa” bukan hanya mengacu pada mencari tahu “alasan” orang itu melakukan kesalahan. Kata “mengapa” sesungguhnya memiliki dimensi yang sangat luas.

****
Seseorang melakukan suatu tindakan itu sangat dipengaruhi oleh pola berfikirnya.
Pola berfikir sangat dipengaruhi oleh pemahaman. Pemahaman terbentuk karena ilmu pengetahuan yang terekam dalam otak. Ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh apa yang di tangkap oleh inderawi. Dan apa yang ditangkap oleh inderawi seorang manusia ??
Dan apa yang ditangkap oleh inderawi seorang manusia ?? Itu adalah sejarah hidupnya. Itu adalah buku bacaan yang di baca. Itu adalah lingkungan keluarga yang telah membentuknya. Itu adalah lingkungan masyarakat tempat ia tinggal. Itu adalah alam yang menjadi sahabat karibnya. Itu adalah perwujudan matahari yang hadir disetiap hari yang dilaluinya, yang bisa jadi berbeda dengan perwujudan matahari kita.
Disinilah “mengapa” akan menemukan maknanya yang lebih dalam. “Mengapa” membawa kita kepada pengetahuan yang lebih mendekati sempurna. Membawa kita ke pemahaman tentang kondisi batiniah saudara kita. Kondisi ruh saudara kita. Kondisi ideologi saudara kita. Kondisi psikologis saudara kita. Mengetahui kejiwaan saudara kita. Pengetahuan yang utuh-menyeluruh tentang saudara kita.
Bukankah ketika rasulullah ditanya tentang ibadah apa yang paling utama, maka beliau memberikan jawaban yang berbeda untuk setiap sahabat yang bertanya. Saya kira beranjak dari pengetahuan yang sempurna inilah, kenapa Rasulullah bisa memberikan jawaban yang berbeda atas pertanyaan yang sama yang di ajukan oleh sahabat-sahabatnya.
Dengan pengetahuan yang lebih sempurna inilah maka kita akan sampai pengambilan keputusan yang berkeadilan. Keputusan yang –mungkin- tidak hanya menyelesaikan “kesalahan” saudara-saudara kita, tapi keputusan yang juga mampu menyelesaikan akar kesalahan. Sehingga perbaikan yang kemudian akan dimunculkan adalah perbaikan yang menyeluruh. Yang mendekati sempurna. Yang menyentuh akar kesalahan.
Dengan “mengapa” akan membawa kita mengambil sikap yang selain adil, juga arif dan bijaksana. Kalau pun pada akhirnya kita harus menjatuhkan hukuman atas “kesalahan” saudara kita, hukuman itu masih dilandasi rasa kasih sayang. Hukuman yang penuh cinta. Bukan hukuman yang dinodai dengan kebencian. Wallahu a’lam bishowab.

11 Mei 2003
(Masjid Shalahuddin, Bumi Para Pejuang)






















Mulai hari ini, El-Huda mulai mendunia