Wednesday, November 29, 2006

MEMAHAMI PERJUANGAN
Oleh : Miftahul Huda

Bunga yang manakah yang akan kita persembahkan kepada perjuangan, kekasih kita? Edelwis yang kita petik dari puncak cintakah? Mawar yang kita petik dari pohonnya yang kita tanam di pekarangan rumah hati kitakah? Atau melati yang kita petik dari taman hati kita?
Lalu kapankah akan kita berikan bunga itu kepadanya? Akankah engkau berikan bunga itu, saat dia sendirian menikmati surya pagi hari? Atau saat engkau menemaninya pada suatu purnama?
Kopi yang manakah yang akan kita suguhkan, saat kekasihmu itu memasuki malam-malam sejarahnya? Susu manakah yang akan kita seduhkan, ketika dia mulai memasuki pagi sejarah? Atau minuman pelepas dahaga yang manakah yang akan kita berikan saat dia sampai di siang sejarah yang panas?
Obat apakah yang akan kita berikan, saat ia dia sampai di takdir sakitnya? Dengan apakah akan kita basuh lukanya? Lantas bagaimanakah kita menghiburnya, saat kesedihan bersemayam di dadanya?
Disinilah titik paling rumit ketika kita mencintainya. Bagaimana kita memberikan sesuatu yang kita punya, yang juga dibutuhkannya, pada saat yang tepat. Mungkin dia membutuhkan semua yang kita punya. Tapi memberikan pada saat yang tidak tepat, hanya akan berbuah ketidak optimalan bahkan kesia-siaan.
Karena alasan inilah sesungguhnya, kita harus sampai pada komponen paling penting ketika kita mencitainya. Yaitu memahami perjuangan. Kita bisa memberikan sesuatu tepat pada waktunya, adalah jika kita memahaminya. Menghargai atau menghormati perjuangan tidak mungkin bisa tanpa mengenalnya. Perhatian dan tanggung jawab akan menjadi buta jika tidak dituntun oleh pemahaman atau pengetahuan.
Kita bisa memahami perjuangan, pemahaman yang sampai pada inti persoalan, jika kita dapat melampaui perhatian atas diri kita sendiri, untuk kemudian melihat perjuangan dalam konteksnya sendiri. Sebagai contoh, kita mungkin dapat mengetahui jika seseorang sedang marah meski dia berusaha untuk menyembunyikan kemarahan itu. Namun kita sesungguhnya bisa mengetahui lebih dari itu, mengetahui bahwa sesungguhnya orang tersebut sedang dilanda kecemasan dan kegelisahan, atau bahwa orang tersebut sedang dihinggapi kesepian dan rasa bersalah.
Kita akan bisa memahami perjuangan, kalau kita mengenalnya. Kita tidak akan mengenal perjuangan, kecuali senantiasa membersamai setiap perjalanannya. Mengawal dengan penuh kesetiaan saat perjuangan itu memasuki malam-malam sejarah yang kelam. Menemani dengan penuh kasih saat perjuangan memasuki pagi hari sejarahnya. Merawat dengan kesabaran yang ekstra ketika perjuangan penuh luka. Juga ikut bersama dengannya ketika dia memasuki siang sejarah yang sungguh panas.
Hanya dengan itu kita bisa mengenal dan memahaminya. Dan dari sinilah kita akan sampai di puncak cinta; menyatu dengan perjuangan, kekasih kita.
Jadi tidak ada jalan lain bagi kita, selain senantiasa membersamai perjuangan. Sebab bagaimana pun juga, suatu hari, kita mesti memberinya bunga.


Yogyakarta, 15 Juni 2004

Cinta dan Cita-Cita

CINTA DAN CITA-CITA

Ba’da tahmid wa shalawat

Mungkin kita tak akan pernah tahu, kapan perjuangan ini akan berakhir. Kapan sesuatu yang kita impikan akan menjadi kenyataan, hadir dihadapan kita, lalu kita nikmati bersama. Atau mungkin kita memang tidak akan pernah sampai pada muara perjuangan. Sebab bisa jadi hidup adalah perjuangan, perjuangan adalah hidup. Jika ini yang terjadi, berarti kita tidak akan pernah beristirahat dari perjuangan. Sebab berhenti dari perjuangan berarti berhenti hidup. Dengan demikian, maka perjuangan yang kita tempuh ini tak akan pernah selesai.
Jadi, inilah sesungguhnya tantangan terberat kita. Mengawal perjuangan yang tak pernah usai. Berat, karena kita adalah makhluk yang senantiasa dihinggapi rasa lelah dan bosan. Berat, karena kita adalah makhluk yang senantiasa menginginkan suatu hasil yang nyata dari setiap apa yang kita lakukan.
Karena alasan inilah, kita memerlukan kekuatan cinta. Cinta kepada perjuangan. Cinta bagaimana pun adalah sumber kekuatan yang sangat dahsyat. Orang yang di dalam hatinya telah bersemayam cinta akan perjuangan, maka dia akan melakukan apa pun untuk senantiasa dekat dengan perjuangan. Sebab kenikmatan terbesar para pecinta adalah ketika dia bisa berdekatan dengan sesuatu yang dia cintai. Orang yang didalamnya hatinya telah bersemayam cinta akan perjuangan, tak akan pernah rela untuk berpisah dengan perjuangan.
Kekuatan inilah yang akan senantiasa mendorong kita untuk tetap berada dalam pesta perjuangan. Sebab cinta adalah ketulusan. Ia tak membutuhkan pamrih atas segalanya. Perjuangan juga tak akan pernah menjanjikan balasan bagi para pengawalnya. Kecuali kepuasan, senantiasa bersama dengannya.
Tetapi kita tak bisa hanya mengandalkan cinta. Sedahsyat apa pun kekuatan cinta, ia bisa juga sirna. Menguap dan tak berbekas. Cinta akan hilang jika sesuatu yang menyebabkan tumbuhnya cinta juga hilang. Begitu juga cinta akan perjuangan. Ia bisa sirna jika ternyata “pesta perjuangan” tak lagi memiliki yang menyebabkan tumbuhnya cinta.
Perjuangan bukanlah sesuatu yang indah. Ia adalah sesuatu yang melelahkan. Menegangkan urat syaraf. Dan kadang-kadang menghamparkan kengerian. Begitu banyak hal yang bersemayam dalam perjuangan, yang itu bisa dengan segera menghilangkan perasaan cinta kita terhadapnya.
Itulah sebabnya seorang pejuang tak bisa hanya mengandalkan cinta. Ia harus memiliki kekuatan kedua. Cita-cita. Harapan. Inilah kekuatan terakhir dari para pejuang.
Cita-cita atau harapan itu harus diletakkan di paling ujung dari pesta perjuangan. Ia haruslah sesuatu yang paling dibutuhkan oleh para pejuang dan haruslah sesuatu yang hanya bisa diraih ketika sudah tidak ada sesuatu pun yang bisa di ambil. Juga cinta.
Dengan kekuatan ini, maka sedahsyat apa pun tantangan perjuangan maka akan dilalui dengan tabah, sabar. Bahkan dengan perasaan gembira. Kengerian-kengerian yang dihamparkan dalam pesta perjuangan, akan dipandang dengan mesra dan penuh keikhlasan. Bahkan ketika cinta akan perjuangan itu sirna, ia satu-satunya hal yang akan menyebabkan kita bertahan.
Memiliki satu dari dua kekuatan itu, berarti kita baru menghimpun setengah kekuatan yang diperlukan untuk mengawal perjuangan. Menghimpun keduanya sekaligus, berarti kita telah melipat gandakan daya juang kita. Cinta kadang-kadang hilang, dan kita butuh cita-cita untuk tetap bertahan, sambil menunggu cinta kita mekar. Cita-cita kadang layu, dan kita butuh cinta untuk menyiram dan membuatnya kembali segar.
Bukankah kata Einstein, E = mc². Energi = mahabah (cinta) x cita-cita. Berarti Energi berbanding lurus dengan cinta dan cita-cita yang dikuadratkan.

Perjuangan hendaknya dijalani dengan cinta dan cita-cita.
Mencintai perjuangan dengan sepenuh jiwa dan cita-cita.
Ibaratnya kita hendaknya “menulis” di buku perjuangan ini dengan
Cinta dan Cita-Cita kita.